1. Uang Syailendra (850 M)
Mata
uang Indonesia dicetak pertama kali sekitar tahun 850/860 Masehi, yaitu
pada masa kerajaan Mataram Syailendra yang berpusat di Jawa Tengah.
Koin-koin tersebut dicetak dalam dua jenis bahan emas dan perak,
mempunyai berat yang sama, dan mempunyai beberapa nominal :
Masa (Ma), berat 2.40 gram; sama dengan 2 Atak atau 4 Kupang
Atak, berat 1.20 gram; sama dengan ½ Masa, atau 2 Kupang
Kupang (Ku), berat 0.60 gram; sama dengan ¼ Masa atau ½ Atak
Sebenarnya masih ada satuan yang lebih kecil lagi, yaitu ½ Kupang (0.30 gram) dan 1 Saga (0,119 gram).
Koin emas zaman Syailendra berbentuk kecil seperti kotak, dimana koin
dengan satuan terbesar (Masa) berukuran 6 x 6/7 mm saja. Pada bagian
depannya terdapat huruf Devanagari “Ta”. Di belakangnya terdapat incuse
(lekukan ke dalam) yang dibagi dalam dua bagian, masing-masing terdapat
semacam bulatan. Dalam bahasa numismatik, pola ini dinamakan “Sesame
Seed”.
Sedangkan
koin perak Masa mempunyai diameter antara 9-10 mm. Pada bagian muka
dicetak huruf Devanagari “Ma” (singkatan dari Masa), dan di bagian
belakangnya terdapat incuse dengan pola “Bunga Cendana”.
2. Uang Krishnala, Kerajaan Jenggala (1042-1130 M)
Pada
zaman Daha dan Jenggala, uang-uang emas dan perak tetap dicetak dengan
berat standar, walaupun mengalami proses perubahan bentuk dan desainnya.
Koin emas yang semula berbentuk kotak berubah desain menjadi bundar,
sedangkan koin peraknya mempunyai desain berbentuk cembung, dengan
diameter antara 13-14 mm.
Pada
waktu itu uang kepeng Cina datang begitu besar, sehingga saking
banyaknya jumlah yang beredar, akhirnya dipakai secara “resmi” sebagai
alat pembayaran, menggantikan secara total fungsi dari mata uang lokal
emas dan perak.
3. Uang “Ma”, (Abad ke-12)
3. Uang “Ma”, (Abad ke-12)
Mata
uang Jawa dari emas dan perak yang ditemukan kembali, termasuk di situs
kota Majapahit, kebanyakan berupa uang “Ma”, (singkatan dari māsa)
dalam huruf Nagari atau Siddham, kadang kala dalam huruf Jawa Kuno. Di
samping itu beredar juga mata uang emas dan perak dengan satuan tahil,
yang ditemukan kembali berupa uang emas dengan tulisan ta dalam huruf
Nagari. Kedua jenis mata uang tersebut memiliki berat yang sama, yaitu
antara 2,4 – 2,5 gram.
Selain
itu masih ada beberapa mata uang emas dan perak berbentuk segiempat, ½
atau ¼ lingkaran, trapesium, segitiga, bahkan tak beraturan sama sekali.
Uang ini terkesan dibuat apa adanya, berupa potongan-potongan logam
kasar; yang dipentingkan di sini adalah sekedar cap yang menunjukkan
benda itu dapat digunakan sebagai alat tukar. Tanda tera atau cap pada
uang-uang tersebut berupa gambar sebuah jambangan dan tiga tangkai
tumbuhan atau kuncup bunga (teratai?) dalam bidang lingkaran atau
segiempat. Jika dikaitkan dengan kronik Cina dari zaman Dinasti Song
(960 – 1279) yang memberitakan bahwa di Jawa orang menggunakan
potongan-potongan emas dan perak sebagai mata uang, mungkin itulah yang
dimaksud.
4. Uang Gobog Wayang, Kerajaan Majapahit (Abad k-13)
pada
zaman Majapahit ini dikenal koin-koin yang disebut “Gobog Wayang”,
dimana untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Thomas Raffles, dalam
bukunya The History of Java. Bentuknya bulat dengan lubang tengah karena
pengaruh dari koin cash dari Cina, ataupun koin-koin serupa yang
berasal dari Cina atau Jepang. Koin gobog wayang adalah asli buatan
lokal, namun tidak digunakan sebagai alat tukar. Sebenarnya koin-koin
ini digunakan untuk persembahan di kuil-kuil seperti yang dilakukan di
Cina ataupun di Jepang sehingga disebut sebagai koin-koin kuil. Setelah
redup dan runtuhnya kerajaan Majapahit di Jawa Timur (1528), Banten di
Jawa bagian barat muncul sebagai kota dagang yang semakin ramai.
5. Uang Dirham, Kerajaan Samudra Pasai (1297 M)
Mata
uang emas dari Kerajaan Samudra Pasai untuk pertama kalinya dicetak
oleh Sultan Muhammad yang berkuasa sekitar 1297-1326. Mata uangnya
disebut Dirham atau Mas, dan mempunyai standar berat 0,60 gram (berat
standar Kupang). Namun ada juga koin-koin Dirham Pasai yang sangat kecil
dengan berat hanya 0,30 gram (1/2 Kupang atau 3 Saga). Uang Mas Pasai
mempunyai diameter 10–11 mm, sedangkan yang setengah Mas berdiameter 6
mm. Pada hampir semua koinnya ditulis nama Sultan dengan gelar “Malik
az-Zahir” atau “Malik at-Tahir”.
6. Uang Kampua, Kerajaan Buton (Abad ke-14)
Uang
yang sangat unik,yang dinamakan Kampua dengan bahan kain tenun ini
merupakan satu-satunya yang pernah beredar di Indonesia. Menurut cerita
rakyat Buton, Kampua pertamakali diperkenalkan oleh Bulawambona,yaitu
Ratu kerajaan Buton yang kedua,yang memerintaha sekitar abad XIV.
Setelah ratu meninggal,lalu diadakan suatu “pasar” sebagai tanda
peringatan atas jasa-jasanya bagi kerajaan Buton. Pada pasar tersebut
orang yang berjualan engambil tempat dengan mengelilingi makam Ratu
Bulawambona. Setelah selesai berjualan,para pedagang memberikan suatu
upetiyang ditaruh diatas makam tersebut,yang nantinya akan masuk ke kas
kerajaan. Cara berjualan ini akhirnya menjadi suatu tradisi bagi
masyarakat Buton,bahkan sampai dengan tahun 1940.
7. Uang Kasha Banten, Kesultanan Banten (Abad ke-15)
Mata-uang
dari Kesultanan banten pertama kali dibuat sekitar 1550-1596 Masehi.
Bentuk koin Banten mengambil pola dari koin cash Cina yaitu dengan
lubang di tengah, dengan ciri khasnya 6 segi pada lubang tengahnya
(heksagonal). Inskripsi pada bagian muka pada mulanya dalam bahasa Jawa:
“Pangeran Ratu”. Namun setelah mengakarnya agama Islam di Banten,
inskripsi diganti dalam bahasa Arab, “Pangeran Ratu Ing Banten”.
Terdapat beberapa jenis mata-uang lainnya yang dicetak oleh
Sultan-sultan Banten, baik dari tembaga ataupun dari timah, seperti yang
ditemukan pada akhir-akhir ini.
8. Uang Jinggara, Kerajaan Gowa (Abad ke-16)
Di
daerah Sulawesi, yaitu Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, berdiri
kerajaan Gowa dan Buton. Kerajaan Gowa pernah mengedarkan mata uang dan
emas yang disebut jingara, salah satunya dikeluarkan atas nama Sultan
Hasanuddin, raja Gowa yang memerintah dalam tahun 1653-1669. Di samping
itu beredar juga uang dan bahan campuran timah dan tembaga, disebut
kupa.
9. Uang Picis, Kesultanan Cirebon (1710 M)
Sultan
yang memerintah kerajaan Cirebon pernah mengedarkan mata uang yang
pembuatannya dipercayakan kepada seorang Cina. Uang timah yang amat
tipis dan mudah pecah ini berlubang segi empat atau bundar di tengahnya,
disebut picis, dibuat sekitar abad ke-17. Sekeliling lubang ada tulisan
Cina atau tulisan berhuruf Latin berbunyi CHERIBON.
10. Uang Real Batu, Kesultanan Sumenep (1730 M)
Kerajaan
Sumenep di Madura mengedarkan mata uang yang berasal dari uang-uang
asing yang kemudian diberi cap bertulisan Arab berbunyi ‘sumanap’
sebagai tanda pengesahan. Uang kerajaan Sumenep yang berasal dari uang
Spanyol disebut juga real batu karena bentuknya yang tidak beraturan.
Dulunya uang perak ini banyak beredar di Mexico yang kemudian beredar
juga di Filipina (jajahan Spanyol). Di negeri asalnya uang mi bernilai 8
Reales. Selain uang real Mexico, kerajaan Sumenep juga memanfaatkan
uang gulden Belanda dan uang thaler Austria.
No comments:
Post a Comment
comment